Setiap hari Paman Ali bekerja tak mengenal lelah. Rekan kerjanya pun semakin banyak yang mengagguminya. Kabar keuletannya itu pun sampai di telinga pemilik kebun, Bos Andre. Bos Andre yang jarang turun langsung ke perkebunan penasaran ingin bertemu Paman Ali.
“Pak, bapak benar yang bernama Ali?” sapa Bos Andre.
“Iya pak, benar. Ada apa pak? Apakah saya melakukan kesalahan?” kata Paman Ali.
“Oh, tidak pak. Saya Andre, pemilik perkebunan ini. Saya kagum dengan keuletan bapak yang sudah membahana diseluruh pelosok perkebunan ini.” puji Bos Andre.
“Ah, bapak bisa saja. Saya hanya menjalankan tugas semampu saya dan sebaik mungkin pak. Saya rasa teman – teman yang lain juga bisa melakukannya. Jadi saya pikir itu bukan hal yang luar biasa.” kata Paman Ali merendah.
“Ya ya. Saya tahu. Tapi ada hal yang tidak dimiliki pekerja lain. Ikhlas pak. Karena bapak mengerjakannya ikhlas, tanpa mengeluh sedikit pun. Itu sebenarnya yang menjadi nilai plus dimata saya. Dan saya lihat, bapak termasuk orang yang jujur ya?” lagi – lagi Bos Andre memuji.
“Ya pak. Seharusnya itu sudah menjadi kewajiban setiap manusia. Karena menurut saya, kejujuran dan keikhlasan dalam bekerja akan membawa rejeki yang halal untuk keluarga.” kata Paman Ali seraya hendak mengangkat sawit hasil panennya.
“Sudah – sudah. Turunkan saja sawit - sawit itu. Sekarang bapak sudah bukan pekerja lagi. Saya angkat bapak jadi mandor disini. Jadi tugas bapak hanya mengawasi dan mencatat produksi perkebunan ini. Gaji bapak akan saya naikkan 2 kali lipat, itu belum termasuk bonus pak. Bagaimana?” tawar Bos Andre.
Paman Ali terlihat amat senang. Dia meraih tangan Bos Andre dan menciumnya sambil berlinang air mata, “Terima kasih pak, terima kasih. Alhamdulillah.”
Hari libur tiba. Paman Ali dan beberapa pekerja lainnya diberi ijin untuk kembali ke rumah masing – masing. Dia pulang membawa sepedanya. Dengan wajah sumringah, dia menemui istrinya yang datang menghampirinya, kemudian memeluk dan menangis di dadanya.
“Akhirnya bapak pulang juga. Ibu kangen pak.” kata istrinya berlinang air mata.
“Iya bu bapak juga kangen ibu dan anak - anak. Ini bapak bawakan sedikit rejeki buat ibu dan anak – anak.” kata Paman Ali seraya menyodorkan berlembar – lembar uang 50 ribu.
“Alhamdulillah.” kata istrinya, kemudian sujud syukur di dekat Paman Ali.
Esok paginya Paman Ali hendak berangkat kembali ke perkebunan tempatnya bekerja. Seperti biasa, dia mengendarai sepedanya. Di tengah perjalanan, dia melihat seorang ibu yang dijambret oleh dua orang lelaki yang berboncengan menunggangi sepeda motor. Paman Ali menghentikan laju sepedanya dan berdiri di pinggir jalan. Ternyata sepeda motor kedua penjambret itu mengarah ke tempatnya berdiri.
Tangannya gemetar. Dia berada diantara dua pilihan. Membantu ibu itu dengan resiko kemungkinan terluka oleh penjambret itu. Atau membiarkan penjambret itu lolos dan melihat ibu itu menangis kehilangan hartanya. Sepeda motor kedua penjambret itu semakin mendekatinya. Paman Ali hendak menghindar namun langkahnya terhenti saat dia mengingat istrinya. “Bagaimana kalau hal itu terjadi pada istriku? Sungguh berdosakah aku jika aku tidak membantu ibu itu.” katanya dalam hati.
Paman Ali mengumpulkan segenap keberaniannya. Dia menggenggam erat kemudi sepeda yang dipakainya. Dan saat kedua penjambret itu melewati Paman Ali, spontan Paman Ali mengangkat dan melemparkan sepedanya ke arah penjambret itu. Tak pelak, kedua penjambret itu jatuh dan menabrak mobil yang terparkir di bahu jalan. Satu orang dari mereka tampak tak sadarkan diri, namun satu orang lainnya masih terlihat kesakitan. Paman Ali berdiri kaku melihat apa yang telah dilakukannya. Seseorang dari penjambret itu terlihat merogoh sesuatu dari saku celananya. Dan itu pistol. Penjambret itu menodongkan pistol ke arah Paman Ali. Sontak Paman Ali lompat ke dalam selokan di samping tempat ia berdiri namun naas, kakinya terkena timah panas.
Beberapa saat kemudian warga yang datang segera menghakimi penjambret yang masih sadar dengan batu dan benda tumpul lainnya. Sementara Paman Ali tak sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Mendengar kabar itu, istri dan anak – anaknya datang menjenguk. Tangis tak dapat tertahan dari mulut mereka. Apalagi setelah dokter memvonis bahwa peluru menembus dan menghancurkan tulang kering Paman Ali. Setelah operasi berjalan lancar, Paman Ali segera sadar dari tidurnya.
Dia menangis kakinya tak mampu lagi digerakan seperti sedia kala. Tak berapa lama, rekan dan atasan di tempatnya bekerja datang menjenguk. Paman Ali hanya memendam rasa sedihnya dan tak yakin akan mempertahankan pekerjaannya saat ini. Namun, Tuhan berkehendak lain. Bos Andre tetap mempekerjakan Paman Ali di perkebunan miliknya. Bahkan posisinya dijamin tidak akan terganti sampai Paman Ali sendiri yang berkeinginan mundur.
Hari berganti hari. Kakinya sudah berangsur membaik walau tidak dapat digunakan seperti sedia kala. Sebuah kursi roda kini adalah temannya bekerja, menggantikan sepedanya yang hancur. Walau begitu, Paman Ali tetap bersemangat dalam bekerja. Keuletan, kejujuran dan keikhlasannya bekerja tidak pernah pudar walau kaki yang selama ini menopang tubuhnya kesana kemari sudah tak dapat berfungsi optimal. Dialah pahlawan sesungguhnya, tidak hanya pahlawan keluarga tetapi pahlawan bagi orang lain yang membutuhkan pertolongannya.
***
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comment.