Monday, May 2, 2011

Kursi Roda untuk Paman Ali (Bag.1)



Paman Ali, begitu tetangganya menyebut namanya. Pria paruh baya berperawakan kurus, tinggi dan berkulit hitam ini adalah seorang tukang kebun di perkebunan milik orang kaya di ujung jalan. Bekerja pada orang kaya tak lantas membuat kehidupannya membaik. Dia hanya diberi upah 75 ribu rupiah selama 1 minggu. Itu tak cukup untuk membiayai kedua anaknya, Badrun dan Mail yang masih duduk di kelas 5 dan 3 SD. Jangankan untuk biaya sekolah anak - anaknya, untuk makan saja terkadang mereka hanya mampu memasak satu setengah kaleng beras dalam sehari atau memakan makanan sisa yang tak termakan oleh pemilik kebun tempat Paman Ali bekerja.

Suatu siang, rejeki menghampirinya. Pemilik kebun, sebut saja Bos Rudi, mengajaknya makan malam memperingati ulang tahun pernikahannya. Hal ini jarang terjadi. Paman Ali terlihat berpikir 1000 kali untuk menerima tawaran itu. Dengan nada penasaran Bos Rudi bertanya, “Ada apa pak? Apa tawaran saya kurang berkenan di hati bapak?”
“Oh, tidak pak. Sungguh ini adalah jamuan yang luar biasa. Namun, bolehkah saya mengajak serta anak dan istri saya nanti?” tanya Paman Ali.
“Ya silahkan saja pak. Ajak mereka semua menghadiri makan malam nanti. Saya tidak keberatan.” kata Bos Rudi tersenyum.

Paman Ali terlihat senang. Semangat kerjanya semakin meningkat tajam. Panas tak dirasanya, lelah pun seakan sirna. Pulang dengan wajah gembira Paman Ali memanggil istrinya, “Bu..Ibu..”
Sang istri datang menyambut ingin mengetahui apa yang terjadi, “Iya pak, ada apa?”
“Bu, nanti malam kita diajak Bos Rudi untuk makan malam di rumahnya.” kata Paman Ali senang.
“Ada acara apa pak?” tanya istri Paman Ali heran.
“Menyambut ulang tahun pernikahan Bos Rudi dengan istrinya.” terang Paman Ali.
“Tapi kita pakai pakaian yang mana pak? Pakaian kita lusuh dan kusam semua.” kata istrinya memelas.
“Sudah, pakai seadanya saja yang penting sopan.” kata Paman Ali bijak.

Malam hari pun tiba. Paman Ali beserta istri dan anak – anaknya datang. Walau dengan pakaian lusuh dan kusam, keluarga Bos Rudi tetap menyambutnya dengan ramah. Acara makan malam dimulai, mereka larut dalam obrolan serius.
“Paman Ali. Apakah bapak tahu kenapa dari sekian orang yang bekerja di kebun saya, hanya Paman Ali yang saya undang makan malam?” tanya Bos Rudi.
“Iya pak. Oh saya juga kurang tahu pak. Apa mungkin ada kesalahan selama saya bekerja di kebun bapak?” kata Paman Ali berbalik bertanya.
“Hahaha. Bukan itu pak, sebenarnya saya ingin menawari bapak sebuah pekerjaan yang lebih baik daripada di sini. Kebetulan kebun kelapa sawit kelas ekspor milik teman saya kekurangan pegawai. Saya lihat Paman Ali adalah orang yang loyal dan ulet. Jika bapak tidak keberatan, apakah bapak bersedia dipekerjakan di sana?” tanya Bos Rudi.
“Wah pak, sungguh tawaran yang sangat baik untuk kemajuan saya. Tapi bolehkah saya meminta waktu hingga besok? Karena saya harus berunding dulu dengan istri dan anak – anak saya. Karena saya tidak hidup sendiri pak, saya sudah menahun hidup bersama mereka.” jelas Paman Ali ragu.
“Oh ya silahkan. Saya hanya berniat membantu sebagai balas budi atas pengabdian bapak kepada saya. Namun, keputusan akhir tetap saya kembalikan kepada bapak.” jelas Bos Rudi.

Acara makan malam usai. Anak – anak Paman Ali terlihat ceria, sesekali mereka menggoda ibunya dan bercerita tentang lezatnya makanan yang baru saja mereka makan tadi. Tapi Paman Ali terlihat muram. Melihat suaminya bertingkah tidak seperti biasanya istrinya bertanya, “Pak, ada apa? Bapak terlihat muram?”
“Hahh. Ini bu, tentang tawaran Bos Rudi tadi.” jelas Paman Ali.
“Ya sudah pak. Diterima saja. Kesempatan cuma datang sekali. Pasti bapak mau kan lihat anak – anak kita tetap bisa bersekolah?” kata istrinya sedikit menghibur.
“Iya bu, bapak tahu. Tapi kalau bapak terima tawaran itu, bapak harus tinggal di mess dan itu tandanya bapak tidak bisa pulang tiap hari membawakan ibu dan anak – anak makanan.” kata Paman Ali galau.
“Hmmh. Ibu mengerti pak. Ibu kan bisa berjualan keripik dari hasil kebun singkong di belakang rumah. Sambil menunggu bapak pulang membawakan kami semua nafkah. Bagaimana pak?” kata istrinya sabar.
“Kalau memang ibu yakin. Ya sudah, besok bapak terima tawaran Bos Rudi. Tapi ibu jangan nakal ya?” kata Paman Ali sedikit menggoda.
“Nah, itu baru suamiku.” kata istrinya seraya memeluk Paman Ali. Kedua anaknya hanya bengong tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Esok paginya. Paman Ali bertemu Bos Rudi untuk menerima tawaran itu. Paman Ali pun dibawa ke sebuah perkebunan sawit. Matanya terbelalak kagum. Luar biasa. Dahulu dia hanya bisa melihat perkebunan seluas dan se-modern ini di televisi tetangganya. Sekarang, dia adalah salah satu bagian yang berperan dalam kemajuan perkebunan sekelas itu. Setelah proses registrasi selesai, Paman Ali diberi sebuah sepeda. Sepeda ini nantinya digunakan sebagai sarana transportasi dari mess ke perkebunan. Hari berikutnya Paman Ali mulai bekerja.

No comments:

Post a Comment

Thanks for your comment.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More