Ayu Pancasona tidak hanya sekedar nama. Nama itu mewakili kecantikan pemiliknya. Aku biasa memanggilnya Ayu. Dia gadis 20 tahun yang sudah lama ditinggal mati ibunya. Kini ia hanya tinggal bersama neneknya yang seorang dukun pijat. Sementara ayahnya, pergi entah kemana. Hidup tanpa ayah dan ibu tidak lantas membuatnya patah arah. Dia tetap bersemangat merajut sedikit demi sedikit cita – citanya menjadi seorang guru walau hanya menjadi guru mengaji di Masjid dekat rumahnya. Dia harus putus sekolah sejak lulus SMP karena alasan biaya, namun dia tidak serta merta membuat hidupnya tidak berarti.
Sore itu aku melihatnya sedang mengajari anak 7 sampai 10 tahun mengaji di Masjid dekat rumah. Kesabaran dan kedekatannya dengan anak – anak membuatku tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh. Awalnya hanya rasa penasaran yang menggelayut di benakku namun kini sudah berubah menjadi kekaguman. Usai ia mengajar mengaji, aku panggil namanya dan mengajakknya berbincang di pos dekat Masjid.
“Assalamualaikum Ayu.” sapaku ramah.
“Eh, kamu. Wa’alaikumsalam.” balasnya dengan senyum manis menggantung.
“Yu, boleh ngobrol sebentar nggak?” ajakku berharap.
“Emmm..gimana ya? Aku harus segera pulang. Aku takut nenek mengkhawatirkanku. Atau kamu mau mampir ke rumahku?” katanya lemah lembut.
“Aduh..lain kali saja ya, Yu? Aku malu.” kataku tersipu.
“Kamu ini gimana? Bertamu koq malu? Tapi berduaan di pos seperti ini nggak malu? Ya udah, aku pulang dulu ya? Assalamualaikum.” katanya sedikit bercanda.
“Iya iya..Wa’alaikumsalam.” kataku tersenyum kecut.
Dari situ kekagumanku terhadap Ayu kian bertambah. Tidak hanya cantik rupanya, namun hatinya juga cantik. Aku tersenyum sendiri menertawakan kebodohanku di depan Ayu. “Hancur sudah reputasiku di depannya.” kataku dalam hati.
Hari berganti. Pagi itu saat aku menuntun sepeda bututku, aku melihatnya sedang menyapu di depan rumah. Ingin kusapa namun takut mengganggunya. Akhirnya aku putuskan untuk memalingkan wajahku. Tak disangka dia memanggilku. Diiringi langkah kecil terburu – buru dia mendekatiku.
“Jul. Tunggu.” dia memanggil seraya berlari kecil. Aku hanya menoleh dan memandang lari anggunnya. Dengan nafas tersengal dia bertanya, “Kamu mau kemana?”
“Aku mau berangkat kuliah, Yu. Ada apa?” jawabku dan berbalik tanya.
“Emm..nanti sore bisa antar aku ke kantor pos nggak? Pliss..” pintanya.
Wajah manisnya membuatku tak sanggup menolak pintanya, “Ya Insya Allah nanti sore. Memang ada apa?”
“Aku mau mengirimkan sesuatu buat mas Anto. Hari ini dia ulang tahun.” katanya terlihat girang.
“Mas Anto? Siapa dia? Setahuku dia tak punya kakak atau saudara bernama Anto. Apa mungkin dia kekasih Ayu?” dalam hatiku bertanya – tanya.
“Oh, ya sudah nanti sore aku ke rumahmu, Yu.” kataku masih tak mengerti.
“Makasih ya Jul. Kalau mau berangkat, silahkan.” katanya melepasku dengan senyuman.
“Assalamualaikum.” salamku seraya pergi dengan mimik penasaran.
“Wa’alaikumsalam.” jawabnya dengan lambaian kecil.
Sore hari. Benar aku menepati pintanya. Dengan busana batik andalanku dan celana kain dengan warna sedikit pudar aku datang ke rumahnya. Minyak melati tak lupa kusemprotkan di bawah ketiak agar tercium segar olehnya. Kuketuk pintunya 3 kali dan kuucapkan salam. Dia menyambutku dengan ramah dan sudah siap dengan pakaian rapi dan elok. Ditangannya sudah terselip sebuah bungkusan besar bermotif hati. Kecurigaanku seakan semakin terjawab, mungkin benar mas Anto adalah kekasihnya. Walau perasaanku sedikit hancur namun aku tetap menunjukkan sikap tenang.
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comment.