Kebetulan hari ini hari Sabtu yang berarti libur kuliah. Tugas kuliah pun sudah aku selesaikan tadi malam. Ini mungkin saat yang tepat bagiku untuk mencari tahu apa yang dikerjakan Ayu selama ini di Kota. Masih setia dengan sepeda butut, kukayuh pedalnya kuat – kuat. Semakin kencang kecepatan yang kudapat semakin banyak pula peluh yang menetes di dahiku. Sepertinya hari ini Sang Surya tak bersahabat denganku. Tak hanya Sang Surya, Dewi Fortuna juga seakan enggan menemaniku. Ban sepeda bututku tertancap paku dan “door” meledak. Aku oleng dan berhenti setelah menabrak tanaman perdu di pinggir jalan.
Beberapa orang menolongku bangun. Siku tanganku terluka, lecet dan berdarah. Seorang ibu membantuku membersihkan luka dan memberi obat merah. Perih kutahan walau tak seperih perasaanku tempo hari. Ibu itu bertanya,”Darimana nak?”
“Dari rumah bu, di daerah Kulon. Mau mencari alamat ini.” kataku sedikit merintih dan menyodorkan kertas alamat.
“Oh..ini sudah dekat nak, nanti di depan belok kiri. Dari situ jalan lurus terus sekitar 1 kilometer.” jelas ibu itu mengetahuinya.
“Memang ada apa nak?” tambah ibu itu.
“Saya mencari teman saya bu.” jawabku.
“Ya sudah, biar nanti suami ibu yang bantu perbaiki sepeda itu. Sementara itu, pakai sepeda ibu saja dulu.” kata ibu itu berbaik hati.
“Tak usah bu. Saya sudah terlalu banyak merepotkan.” kataku menolak.
“Sudah, nggak apa – apa. Ibu ikhlas koq. Ibu juga punya anak seusia kamu, jadi sudah seperti anak ibu sendiri.” kata ibu itu sambil menyodorkan segelas es teh.
“Terima kasih bu. Alhamdulillah saya bisa bertemu ibu.” kataku memuji dan ibu itu hanya tersenyum.
Setelah rasa perih di siku tangan sedikit mereda dan segelas es teh ludes habis kuminum. Aku berpamitan pada ibu itu.
“Bu, saya pamit dulu mau mencari alamat ini.” seruku.
“Iya nak hati – hati. Ini pakai sepeda ibu.” kata ibu itu.
“Tak usah bu, jalan kaki saja. Lagi pula siku saya masih sakit. Rasanya masih sulit mengendalikan sepeda.” kataku menjelaskan.
“Oh ya sudah. Nanti kesini lagi ya nak? Itu sepedanya sedang diperbaiki bapak.” kata ibu itu sambil tersenyum ikhlas.
“Iya bu. Sebelumnya terima kasih. Assalamualaikum.” kataku meminta diri.
“Iya nak. Sama – sama. Wa’alaikumsalam.” jawab ibu itu.
Hatiku berkata, “Dewi Fortuna memang tidak berpihak padaku. Tapi Allah selalu menjaga dan menolongku. Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah.”
Aku melanjutkan langkahku ke alamat yang kutuju. Dan kutemukan sebuah gedung seperti sekolah namun bukan. Di gerbang masuknya tertulis, “TPQ Al-Ihsan” (TPQ adalah Taman Pendidikan Qur’an, sebuah tempat belajar Al-Qur’an yang diakui negara-red). Kucoba masuk ke dalamnya dan bertanya pada salah seorang yang sedang duduk di beranda gedung.
“Permisi. Assalamualaikum. Maaf, saya mau bertanya. Mba kenal Ayu tidak?” tanyaku berharap – harap cemas.
“Ayu yang mana mas? Disini Ayu ada tiga orang.” jelasnya.
“Ayu Pancasona.” jawabku.
“Oh, Ayu yang itu? Sekarang dia sedang mengajar di ruang B mas. Coba saja kesana.” katanya seraya menunjuk sebuah ruang di lantai 2.
“Terima kasih mba.” kataku.
Tak butuh waktu lama aku bergegas menuju ruangan yang dimaksud. Dan aku melihatnya sedang mengajar anak – anak tentang ilmu agama. Leganya. Minimal prasangkaku tentangnya yang dipersunting mas Anto berkurang. Aku duduk di kursi panjang dekat kelas itu. Kulipat – lipat kertas alamat tadi dan kugunakan untuk mengipasi tubuhku yang kepanasan. Beberapa waktu kemudian, pelajaran yang dibawakan Ayu berakhir. Dia keluar dan aku berdiri menyambutnya. Mimik wajahnya mengisyaratkan bahwa dia kaget melihatku ada di tempatnya mengajar. Wajar saja, jarak dari Kulon ke Kota sekitar 25 kilometer.
“Jul? Kamu disini? Ada apa?” tanyanya kebingungan.
“Iya Yu, aku mau bicara.” kataku.
“Tentang apa?” tanyanya.
“Tempo hari, kamu mengajakku mengirimkan sebuah bingkisan untuk mas Anto. Memang dia siapa Yu?” tanyaku memberanikan diri.
“Oh..sebentar ya?” kata Ayu seraya pergi dan memintaku menunggu.
Tak berapa lama dia datang bersama seorang laki – laki. Ayu berkata,”Ini lho yang namanya mas Anto. Dia yang membantuku sehingga aku bisa bekerja di sini. Dia sudah beristri, waktu itu aku diundang datang ke pesta ulang tahunnya. Tetapi aku tidak bisa datang karena harus mengajar anak – anak mengaji di Masjid.” katanya menjelaskan dengan senyum ceria. Aku hanya terdiam malu dan kebingungan.
“Yu, mungkin temanmu ini cemburu. Dia suka kamu mungkin Yu.” kata mas Anto sedikit menggoda.
“Iya mas. Saya minta maaf telah berprasangka buruk. Lagi pula saat itu saya tidak bertanya langsung pada Ayu. Maafkan saya ya mas?” kataku menyesal.
“Iya nggak apa – apa koq. Mas Anto mengerti. Kalau memang kamu punya perasaan sama Ayu, ayo ungkapkan sekarang saja. Daripada nanti diambil orang.” lagi – lagi mas Anto menggoda.
“Ah mas Anto bisa saja.” kataku dan Ayu bersamaan tak sengaja.
“Nah itu, kalian sudah ada kecocokan. Ayo anak muda, nyatakan sekarang.” desak mas Anto sambil tersenyum.
“Emmm..Yu, apa yang mas Anto katakan benar. Aku punya rasa. Aku nggak tahu itu cinta atau apa. Tapi aku hanya ingin menjadi wali Allah untuk menjagamu, membimbingmu dan menjadi pemimpinmu nanti. Kira – kira apa mungkin kamu bersedia menerimaku?” kataku dengan perasaan bercampur baur.
Ayu hanya tersenyum tersipu dan tak kusangka dia mengangguk. Alhamdulillah...
***
No comments:
Post a Comment
Thanks for your comment.